Cara Menghitung
Zakat Mal
(Oleh: Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA)
Segala puji hanya
milik Allâh Ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada
Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya.
Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia diciptakan untuk
kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh Ta’ala dan rajin
beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi Ibrahim 'alaihissalam,
meninggalkan putranya, Nabi Ismail 'alaihissalam di sekitar
bangunan Ka’bah, beliau berdoa:
Ya
Rabb kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
(Qs. Ibrâhîm/14:37)
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
(Qs. Ibrâhîm/14:37)
Inilah hikmah
diturunkannya rizki kepada umat manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur,
maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.
…Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)
Ibnu Katsir
rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa
setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding
ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan
orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta
kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka akan disiksa dengan
harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya,
ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa
dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, dengannya ia
mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya kepada Abu Lahab.
Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa pedih, karena dilakukan oleh
orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai. Demikianlah halnya para
penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak pada hari
kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta
kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan
punggung mereka”.[1]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:
“Dan hikmah
dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allâh (zakat)
yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah karena zakat yang harus
dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena
harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci”.[2]
Singkat kata, zakat
adalah persyaratan dari Allâh Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia
berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.
NISHAB ZAKAT EMAS DAN
PERAK
Emas dan perak adalah
harta kekayaan utama umat manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta
yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.
Dari
Sahabat ‘Ali radhiyallâhu'anhu,
ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
Beliau bersabda:
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham
dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya),
maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham.
Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun –maksudnya zakat emas–
hingga engkau memiliki dua puluh dinar.
Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar
dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya),
maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar.
Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
(Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
Beliau bersabda:
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham
dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya),
maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham.
Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun –maksudnya zakat emas–
hingga engkau memiliki dua puluh dinar.
Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar
dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya),
maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar.
Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
(Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
Dari
Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, ia menuturkan:
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dinyatakan:
Dan
pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).
(Riwayat al-Bukhâri)
(Riwayat al-Bukhâri)
Orang yang hendak
membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu
dari dua cara berikut.
Cara pertama, membeli emas atau
perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada
yang berhak menerimanya.
Cara kedua, ia membayarnya
dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau
perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
Sebagai contoh, bila
seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia
boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram.
Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram
tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk
membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan
zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus
mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi
para penerima zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan antara
menerima dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka
lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.”[6]
Catatan Penting
Pertama.
Perlu diingat, bahwa
harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa
saja ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan ketika berlalu satu
tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,- Atau sebaliknya, pada saat
beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo
bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-
Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran
zakat adalah harga pada saat
membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7]
NISHAB ZAKAT UANG
KERTAS
Pada zaman dahulu,
umat manusia menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi dan bertukar barang,
agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan menggunakan cara
barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala manusia menyadari
bahwa cara ini kurang praktis - terlebih bila membutuhkan dalam jumlah besar
maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga akhirnya, manusia
mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang berharga yang dapat dijadikan
sebagai alat transaksi antar manusia, dan sebagai alat untuk mengukur nilai
suatu barang.
Dalam perjalanannya,
manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak,
sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan
peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang kertas.
Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat transaksi dan
pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa uang
kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum, seperti
halnya yang dimiliki uang dinar dan dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya
hukum-hukum riba dan zakat.[8]
Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas
yang mencapai harga nishab emas atau perak, ia wajib
mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang ia miliki. Dan untuk
lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh berikut.
Misalnya satu gram
emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak
murni dijual seharga Rp. 25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91
3/7 x Rp. 200.000 = Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000
= Rp. 14.875.000,-.
Apabila pak Ahmad
(misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp.
50.000.000,- lalu uang tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun
1429H) uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas,
maka pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total
zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:
Rp. 50.000.000 x 2,5 %
= Rp 1.250.000,-
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada kasus pak Ahmad
di atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan,
karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya. Akan tetapi, bila uang
pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita mempertimbangkan
batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang pak Ahmad telah
mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum mancapai nishab
emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam
ini, para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan
tidak boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban
membayar zakat mal sebesar :
Rp. 16.000.000 x 2,5 %
= Rp. 400.000,-
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah
kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada
keputusannya no. 1881 menyatakan:
“Bila uang kertas yang
dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas
atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan
zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.[9]
Catatan Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah
mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena
itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat
disempurnakan dengan uang atau sebaliknya.[10]
Berdasarkan pemaparan
di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000,
(dengan asumsi harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga memiliki
uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %.
Dalam hal ini walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki
belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya (Rp.
23.000.000,-) mencapai nishab.
Dengan demikian orang
tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- berdasarkan
perhitungan sebagai berikut:
(Rp 10.000.000,- + Rp.
13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
ZAKAT PROFESI
Pada zaman sekarang
ini, sebagian orang mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi,
yaitu bila seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji besar,
maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya.
Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang petani yang
dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang
pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen
petani, tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas
ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan
2,5 % dari gajinya dengan sebutan zakat profesi.
0 Response to "Cara Menghitung Zakat Mal"
Posting Komentar