Silaturahim termasuk akhlak yang mulia. Dianjurkan dan diseru
oleh Islam. Diperingatkan untuk tidak memutuskannya. Allah Ta'ala telah menyeru
hambanya berkaitan dengan menyambung tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat
di kitab-Nya yang mulia. Allah Ta'ala memperingatkan orang yang memutuskannya
dengan laknat dan adzab, diantara firmanNya,
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ
وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ
وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
Artinya: “Maka apakah kiranya jika kamu
berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan
kekeluargaan ? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikanNya
telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” (QS Muhammad
47:22-23).
وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ
اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya: “Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.” (QS An Nisaa’ 4:1).
Juga sabda Rasulullah Shallallahu'alahi
Wasallam ,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ
لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang senang untuk
dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka
hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Minar Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429). Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Birri Wal Shilah Wal Adab, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/330). Abu Daud dalam Sunannya, kitab Az Zakat, Bab Fi Shilaturrahmi no. 1693, dengan lafadz,
Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Minar Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429). Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Birri Wal Shilah Wal Adab, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/330). Abu Daud dalam Sunannya, kitab Az Zakat, Bab Fi Shilaturrahmi no. 1693, dengan lafadz,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ
لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang suka dilapangkan
rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.”
At Tirmidzi dalam Jami’nya, no. 1865, Ibnu Majah dalam Sunannya
no. 3663 dan Ahmad dalam Musnadnya sebanyak 10 riwayat.
MAKNA KOSA KATA HADITS
- الأَثَ bermakna ajal, karena dia ikuti kepada kehidupan dalam jejak-jejaknya, dan
- بَسْطُ رِزْقِهِ bermakna dilapangkan dan diperbanyak, dikatakan pula bermakna berkah di dalamnya (yakni diberkahi rizkinya).
- الأَثَ bermakna ajal, karena dia ikuti kepada kehidupan dalam jejak-jejaknya, dan
- بَسْطُ رِزْقِهِ bermakna dilapangkan dan diperbanyak, dikatakan pula bermakna berkah di dalamnya (yakni diberkahi rizkinya).
FAIDAH HADITS
Hadits yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya.
Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan? Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firmanNya,
Hadits yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya.
Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan? Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firmanNya,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ
لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “Maka apabila telah datang waktunya
mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula)
memajukannya.” (QS Al A’raf: 34).
Jawaban para ulama tentang masalah ini sangatlah banyak. Di
antaranya,
Pertama. Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu tambahan berkah
dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal yang
bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.
Kedua. Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang terdapat di
Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh
berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan
mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi
padanya (apakah ia akan menyambung silaturahim ataukah tidak). Inilah makna
firman Allah Ta'ala ,
يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثْبِتُ
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (QS Ar Ra’d:39).
Demikian ini ditinjau dari ilmu Allah. Apa yang telah ditakdirkan,
maka tidak akan ada tambahannya. Bahkan tambahan tersebut adalah mustahil.
Sedangkan ditinjau dari ilmu makhluk, maka akan tergambar adanya perpanjangan
(usia).
Dan yang ketiga. Yang dimaksud, bahwa namanya tetap diingat dan dipuji.
Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan oleh Al
Qadli, dan riwayat ini dha’if (lemah) atau bathil. Wallahu a’lam. [Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/114)]
Demikian pula Syaikhul Islam berkomentar tentang permasalahan
ini dengan pernyataan beliau :
Adapun firman Allah Ta'ala ,
Adapun firman Allah Ta'ala ,
وَمَايُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٍ وَلاَيُنقَصُ مِنْ عُمُرِهِ …..
Arinya: “Dan sekali-kali tidak diperpanjang
umur seorang yang berumur panjang, dan tidak pula dikurangi umurnya…… ” (QS Fathir:11).
Bermakna umur manusia tidak akan diperpanjang, dan tidak pula
akan dikurangi. Adapun maksud diperpanjangan dan pengurangan disini, bermakna
dua hal, yaitu :
Pertama. Si fulan berumur panjang, sedangkan lainnya berumur pendek.
Maka pengurangan umur di sini merupakan kekurangannya dibanding yang lainnya,
sebagaimana orang yang panjang umurnya berumur panjang dan yang lain berumur
pendek. Maka pengurangan umurnya menunjukkan dia lebih pendek dibandingkan yang
pertama sebagaimana perpanjangan merupakan tambahan dibanding yang lainnya.
Kedua. Bisa jadi makna kurang disini ialah kurang dari umur yang
telah ditentukan, sebagaimana yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan
dari umur yang telah ditentukan. Sebagaimana dalam Shahihain dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, beliau bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ
لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang suka dilapangkan
rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.”
Sebagian orang berkata, yang dimaksud adalah barakah dalam
umurnya dengan beramal dengan waktu yang singkat sesuatu yang diamalkan oleh
orang lain dalam waktu yang lama. Mereka beralasan, karena rizki dan ajal telah
ditakdirkan dan ditentukan. Maka dikatakan kepada mereka, bahwa barakah tadi
bermakna tambahan dalam amal dan manfaat. Padahal hal tersebut juga telah
ditakdirkan. Bahkan ketentuan tersebut meliputi semua hal.
Jawaban yang benar ialah : Bahwa Allah telah menetapkan ajal
hamba dalam catatan malaikat. Apabila ia menyambung silaturahim, maka akan
ditambahkan pada apa yang tertulis dalam catatan malaikat tersebut. Jika ia
melakukan amalan yang menyebabkan umurnya berkurang, maka akan dikurangkan dari
apa yang telah tertulis tersebut. Pandangan ini berdasarkan apa yang ada dalam
Sunan Tirmidzi dan lainnya dari Nabi Shallallahu'alaihi
Wasallam , beliau bersabda,
أَنَّ آدم لَمَّا طَلَبَ مِنَ اللهِ أَنْ يُرَيَهُ صُوْرَةَ
الأَنْبِيَاءِ مِنْ ذُرِّيَتِهِ فَأَرَاهُ إِيَاهُمْ فَرَأَى فِيْهِمْ رَجُلاً
لَهُ بَصِيْصٌ فَقَالَ مَنْ هَذَا يَا رَبِّ؟ فَقَالَ ابْنُكَ دَاوُد فَقَالَ
فَكَمْ عُمْرُهُ؟ قَالََ أَرْبَعِوْنَ سَنَةً قَالَ وَكَمْ عُمْرِيْ ؟ قَالَ
أَلْفُ سَنَةٍ قَالَ فَقَدْ وَهَبْتُ لَهُ مِنْ عُمْرِي سِتِّينَ سَنَةً فَكَتَبَ
عَلَيْهِ كِتَابٌ وَشَهِدَتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ فَلَمَّا حَضَرَتِ
الْوَفَاةُ قَالَ قَدْ بَقِيَ مِنْ عُمْرِي سِتُُّوْنَ سَنَةً قَالُوْا قَدْ
وَهَبْتَهَا لإِبْنِكَ دَاوُدَ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فَأَخْرَجُوْا الْكِتَابَ قَالَ
النَّبِيِّ : فنُسِّيَ آدَمُ فَنُسِّيَتْ ذُرِّيَّتُهَُوَجَحَدَ آدَمُ فَجَحَدَتْ
ذُرِّيَّتُهُ
Artinya: “Sesungguhnya Adam ketika meminta
kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya wajah-wajah para nabi dari
keturunannya, maka Allah pun memperlihatkannya. Kemudian dia melihat seorang
laki-laki yang memiliki cahaya. Adam bertanya,”Ya Rabbi, siapakah ini?” Allah
menjawab,”Anakmu, Daud.” Lalu beliau bertanya lagi,”Berapa umurnya?”
Dijawab,”Umurnya 40 tahun” , beliau bertanya lagi,”Berapa umur saya?”
Dijawab,”Seribu tahun”, Adam berkata,”Saya berikan enam puluh tahun umur saya
kepadanya.” Maka ditulis atasnya suatu kitab yang disaksikan oleh malaikat.
Sehingga ketika akan meninggal dia berkata,”Umur saya masih tersisa enam puluh
tahun.” Malaikat menjawab,”Kamu telah memberikannya kepada anakmu Daud.” Lalu
Adam mengingkarinya dan dikeluarkanlah kitab tadi. Nabi Shallallahu'Alaihi
Wasallam bersabda, “Adam telah lupa, maka anak keturunannya pun (punya sifat)
lupa. Dan Adam telah mengingkari, maka anak keturunannya pun (punya sifat)
mengingkari.” ” [Riwayat Tirmidzi dalam tafsir Surat Al A’raf dan dia
berkata,”Hadits ini hasan gharib dari jalan ini (11/196). Berkata Al Arnauth
dalam Jami’ul Ushul (2/141).
Diriwayatkan oleh Al Hakim, dan beliau menshahihkannya serta disepakati oleh
Adz Dzahabi. Syeikh Al Albani menshahihkannya dalam Shahihul Jami' No. 5209]
Dan telah diriwayatkan, bahwa umur Adam disempurnakan. Demikian
juga umur Daud telah ditetapkan empat puluh tahun, kemudian ditambah*) enam
puluh tahun. Inilah makna perkataan Umar,”Ya Allah jika Engkau telah menulis,
bahwa saya termasuk orang yang sengsara, maka hapuslah dan tulis saya sebagai
orang yang berbahagia, karena Engkau menghapus apa yang Engkau kehendaki dan
menetapkan (apa yang Engkau kehendaki).” Allah telah mengetahui apa yang sudah
terjadi, yang sedang terjadi dan yang belum terjadi, dan seandainya terjadi
bagaimana cara terjadinya. Allah mengetahui apa yang telah ditulis bagi seorang
hamba, dan apa yang akan ditambahkan kepadanya. Sedangkan para malaikat tidak
mengetahui, kecuali apa yang telah Allah beritahukan kepada mereka. Allah
mengetahui segala sesuatu sebelum dan sesudah terjadinya. Oleh karena itu para
ulama mengatakan, bahwa penghapusan dan penetapan itu terjadi pada catatan
malaikat. Adapun ilmu Allah, maka tidak akan berbeda dan tidak ada yang baru
yang belum diketahuinya. Sehingga tidak ada penghapusan dan penetapan.[Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (14/490)]
[*) Barangkali yang benar adalah,“ditambah baginya” sebagai ganti dari “dijadikannya”, karena Adam as telah memberikan kepada Daud 60 tahun dari umurnya, sehingga umur Daud menjadi 100 tahun bukan 60 tahun]
Berkata di tempat lain :
Ajal itu ada dua. Ajal mutlak dan ajal muqayyad. Dengan ini maka jelas
[*) Barangkali yang benar adalah,“ditambah baginya” sebagai ganti dari “dijadikannya”, karena Adam as telah memberikan kepada Daud 60 tahun dari umurnya, sehingga umur Daud menjadi 100 tahun bukan 60 tahun]
Berkata di tempat lain :
Ajal itu ada dua. Ajal mutlak dan ajal muqayyad. Dengan ini maka jelas
lah makna sabda Nabi Shallallahu'alaihi
Wasallam ,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ
فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang suka dilapangkan
rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturrahim.”
Karena Allah memerintahkan malaikat untuk menulis ajal
seseorang, kemudian berfirman (yang artinya),“Apabila dia
menyambungkan silaturahmi, maka tambah sekian dan sekian.” Dan malaikat tidak
mengetahui, apakah akan ditambahkan ataukah tidak. Sedangkan Allah mengetahui
apa yang akan terjadi. Sehingga apabila datang waktunya, maka tidak bisa
dimajukan ataupun dimundurkan.[Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah
(8/517)]
Ibnu Hajar Rahimahullah menjawab
permasalahan ini, ”Berkata Ibnu Tin, ‘Secara lahiriah, hadits ini bertentangan
dengan firman Allah,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ
لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “Maka apabila telah datang ajal
mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat
(pula) memajukannya.” (QS Al A’raf:34).
Untuk mancari titik temu kedua dalil tersebut dapat ditempuh
melalui dua jalan. Pertama, tambahan (umur) yang dimaksud yaitu kinayah dari
usia yang diberi berkah, karena mendapat taufiq (kemudahan) menjalankan
ketaatan, menyibukkan waktunya dengan hal yang bermanfaat di akhirat, serta
menjaga waktunya dari kesia-siaan. Hal ini seperti sabda Nabi Shallallahu'Alaihi Wasallam , bahwa umur umat ini lebih pendek
dibandingkan umur umat-umat yang terdahulu. Tetapi kemudian Allah menganugerahi
lailatul qadar (malam qadar).
Kesimpulannya, silaturahim dapat menjadi sebab mendapatkan taufiq
(kemudahan) menjalankan ketaatan dan menjaga dari kemaksiatan. Sehingga namanya
akan tetap dikenang. Seolah-olah seseorang itu tidak pernah mati. Dan di antara
hal yang bisa mendatangkan taufiq, yaitu ilmu yang bermanfaat bagi orang
setelahnya, shadaqah jariyah dan anak keturunan yang shalih.
Kedua, tambahan itu secara hakikat atau sesungguhnya. Hal itu
berkaitan dengan ilmu malaikat yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun
yang ditunjukkan oleh ayat pertama di atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu
Allah Ta'ala . Umpamanya dikatakan kepada malaikat, umur si fulan 100 tahun
jika ia menyambung silaturahmi, dan 60 tahun jika ia memutuskannya.
Dalam ilmu Allah telah diketahui, bahwa fulan tersebut akan
menyambung atau memutuskan silaturahim, maka yang ada dalam ilmu Allah tidak
akan maju atau mundur, sedangkan yang ada dalam ilmu malaikat itulah yang
mungkin bisa bertambah atau berkurang. Demikianlah yang diisyaratkan oleh
firman Allah,
يَمْحُو اللهُ مَايَشآءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisiNya-lah tedapat
Ummul Kitab (Lauh Mahfudz).” (QS Ar Ra’d:39).
Jadi, yang dimaksud dengan menghapuskan dan menetapkan dalam
ayat itu ialah yang ada dalam ilmu malaikat. Adapun yang ada di Lauh Mahfuzh
itu, merupakan ilmu Allah yang tidak akan ada penghapusan (perubahan)
selama-lamanya. Itulah yang disebut dengan al qadha al mubram (takdir atau putusan
yang pasti). Sedangkan yang pertama (ilmu malaikat) disebut al qadha al mu’allaq (takdir atau putusan yang masih
menggantung).
Yang pertama tampak lebih cocok dengan lafadz hadits di atas.
Karena al atsar ialah sesuatu
yang mengikuti yang lain. Apabila diakhirkan, maka menjadi baik untuk
membawanya kepada keharuman nama setelah meninggalnya. Ath Thibbi berkata,
”Jalan yang pertama lebih jelas…” [Fathul Bari, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Fir Rizqi Bi
Shilatirrahim (10/429)]
Berdasarkan nukilan ini, jelaslah, bahwa para ulama Rahimahumullah mempunyai tiga pendapat dalam
menafsirkan penambahan umur. Pendapat pertama, barakah. Pendapat kedua,
perpanjangan hakiki atau sesungguhnya. Pendapat ketiga, keharuman nama setelah
meninggalnya.
Akhirnya, inti yang wajib kita jadikan jalan keluar dari
perselisihan makna memanjangkan umur baik bermakna hakikat ataupun majaz
(kiasan), yaitu memperpanjang umur tersebut dengan menggunakan dan
menghabiskannya untuk mendapatkan tambahan kebaikan. Adapun seseorang yang
panjang umurnya tetapi jelek amalannya, maka ia termasuk sejelek-jelek orang,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam dalam hadits Abu
Bakrah Radhiyallahu'anhu.
Keutamaan inipun dikuatkan dengan hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu'anhu dari Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, yang berbunyi,
صِلَةُ الرَّحِمِ تَزِيْدُ الْعُمُرَ
Artinya: “Silaturahim bisa menambah umur.” [Dikeluarkan oleh Al
Qadha’i dalam Musnad Asy Syihab dan dihasankan
oleh Al Munawi dalam Faidhul Qadir (4/192) dan Al
Albani menshahihkannya dalam Shahihul Jami' no. 3776]
Keutamaan silaturahmi yang lainnya, dijelaskan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dalam banyak hadits. Diantaranya ialah :
Pertama. Silaturahmi merupakan salah satu tanda dan kewajiban iman.
Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu'alaihi
Wasallam dalam hadits Abu Hurairh, beliau bersabda,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ
رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, hendaklah bersilaturahmi.” (Mutafaqun ‘alaihi).
Kedua. Mendapatkan rahmat dan kebaikan dari Allah Ta'ala .
Sebagaimana sabda beliau Shallallahu'alaihi Wasallam ,
خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتْ
فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ أَلَا
تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا
رَبِّ
Artinya: “Allah menciptakan makhlukNya, ketika
selesai menyempurnakannya, bangkitlah rahim dan berkata,”Ini tempat orang yang
berlindung kepada Engkau dari pemutus rahim.” Allah menjawab, “Tidakkah engkau
ridha, Aku sambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?”
Dia menjawab,“Ya, wahai Rabb.”” (Mutafaqun ‘alaihi).
Ibnu Abi Jamrah berkata,“Kata ‘Allah menyambung’, adalah
ungkapan dari besarnya karunia kebaikan dari Allah kepadanya.”
Sedangkan Imam Nawawi menyampaikan perkataan ulama dalam uraian
beliau,“Para ulama berkata, ‘hakikat shilah adalah kasih-sayang dan rahmat.
Sehingga, makna kata ‘Allah menyambung’ adalah ungkapan dari kasih-sayang dan
rahmat Allah.” [Lihat syarah beliau atas Shahih Muslim 16/328-329]
Ketiga. Silaturahmi adalah salah satu sebab penting masuk syurga dan
dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana sabda beliau Shallallahu'alaihi Wasallam,
<=""
p="" style="border: 0px; font-family: Aller, Arial, Helvetica,
sans-serif; font-size: 18px; font-style: normal; font-weight: normal; margin:
0px; outline: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline; color: rgb(64, 64,
64); font-variant: normal; letter-spacing: normal; orphans: auto; text-align:
start; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows:
auto; word-spacing: 0px; -webkit-text-stroke-width: 0px;">
Artinya: “Dari Abu Ayub Al Anshari, beliau
berkata, seorang berkata,”Wahai Rasulullah, beritahulah saya satu amalan yang
dapat memasukkan saya ke dalam syurga.” Beliau Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab,“Menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, menegakkan
shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahmi.”” (Diriwayatkan
oleh Jama’ah).
Silaturahmi adalah ketaatan dan amalan yang mendekatkan seorang
hamba kepada Allah Ta'ala, serta tanda takutnya seorang hamba kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut
kepada hisab yang buruk.” (QS Arra’d 13:21).
Demikianlah sebagian keutamaan silaturahim. Tentunya tidak
seorangpun dari kita yang ingin melewatkan keutamaan ini. Apalagi bila melihat
akibat buruk dan adzab pedih yang Allah Ta'ala siapkan bagi orang yang memutus
tali silaturahim. Karenanya, orang-orang shalih dari pendahulu umat ini
membiasakan diri menyambung silaturahim, walaupun sulit sarana komunikasi pada
jaman mereka. Sedangkan pada zaman sekarang ini, dengan tercukupinya sarana
transportasi dan komunikasi, semestinya membuat kita lebih aktif melakukan
silaturahim. Kemudahan yang Allah Ta'ala berikan kepada kita tersebut, hendaknya
dipergunakan untuk silaturahim. Mungkin salah seorang dari kita melakukan
perjalanan ke negeri yang jauh untuk wisata, akan tetapi dia merasa berat untuk
mengunjungi salah seorang kerabatnya yang masih satu kota dengannya -kalau
tidak saya katakan satu daerah dengannya- padahal paling tidak hubungan
tersebut dapat dilakukan dengan hanya mengucapkan salam. Apa beratnya
mempergunakan telepon untuk menghubungi salah satu kerabat kita dan mengucapkan
salam kepadanya?
Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhu meriwayatkan,
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda,
بَلُوْا أَرحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلاَمِ
Artinya: “Sambunglah keluargamu meskipun dengan
salam.” [Riwayat Al Bazzar, Ath Thabrani dan Al Baihaqi. Berkata Al
Munawi dalam Faidhul Qadir, “Berkata Al-Bukhari,’Semua jalannya dha’if, akan
tetapi saling menguatkan (3/207)’.” Al Albani menghasankannya dalam Shahihul Jami' no. 2838]
- See more at:
http://ustadzkholid.com/keutamaan-silaturahmi/#sthash.RS11MK4b.dpuf
0 Response to "Keutamaan silaturrohim"
Posting Komentar