A. Definisi Waris
Al-miirats,
dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata
waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum
lain.
Pengertian
menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan
harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an
banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya
Allah berfirman:
"Dan
Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"...
Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain
itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama
adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan
makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,
baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang
berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian
peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada
prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang
piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta
yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban
pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum
diberikan kepada istrinya).
Dari
sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan
adalah:
1.
Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya,
dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut
menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga
pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya
pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang
terakhir.
Satu
hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan
tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2.
Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih
dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan
kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa
(ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud
hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun
jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat,
atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di
kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi
berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya
sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya.
Kalangan
ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan
ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia.
Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan
keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah
meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi
orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari
kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu
saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya
bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya.
Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya.
Sedangkan
jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang
pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang
kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang
tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak
yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris
untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Bahkan
menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum
memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki
berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli
warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang
berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan
agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang
kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang
kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara
bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap
ahli waris.
3.
Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga
dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut
diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari
salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris
dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan
pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila
ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang
ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan
kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw.
ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad
sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal.
Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu
lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta
kepada orang."
4.
Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para
ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama
(ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh
(ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri,
suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak
menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima
bagian).
0 Response to "Pengertian Ilmu waris"
Posting Komentar