A. Definisi al-'Aul
Al-'aul
dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm
(aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
"...
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."
(an-Nisa': 3)
Al-'aul
juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang
artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti
tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan
definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh
dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal
ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang
dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam
keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya
sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada --
meski bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya
bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah
menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya
dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang
suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9
(sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka
dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
Pada
masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus
'aul atau penambahan --sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian waris--
tidak pernah terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar
bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama kali menambahkan
pokok masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan
ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Secara
lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat dan
meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam
ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (1/2), sedangkan
bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3). Dengan demikian,
berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian, suami
tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang
ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung perempuan, mereka tetap
menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi
kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh aku tidak
mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang
diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung
perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga
sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung
perempuan pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar
kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di
antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan kepada Umar agar menggunakan
'aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata: "Tambahkanlah hak para
ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah
tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul (penambahan) fardh ini sebagai
keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.
Pokok
masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat
di-'aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.
Ketiga
pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua
puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada
empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai
contoh pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami
serta seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut:
pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan
bagian saudara kandung perempuan setengah, berarti mendapat bagian satu (1).
Maka dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul.
Contoh
lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu mendapat
sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok
masalahnya tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.
Contoh
lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dan
saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya
dari empat (4), bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian,
sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara kandung laki-laki
dengan saudara kandung perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali
bagian perempuan.
Contoh
kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak
perempuan, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu
bagian, anak setengah (1/2) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung
perempuan menerima sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).
Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang saya
kemukakan semuanya tidak dapat di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau
tepat dengan bagian para ashhabul furudh.
Sebagaimana
telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang dapat
di-'aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24).
Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat
tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angka
sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh.
Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat
dinaikkan empat kali saja.
Kemudian
pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17),
namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12)
hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas
(17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat
di-'aul-kan tiga kali saja.
Sedangkan
pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua puluh
tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur
di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Untuk
lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokok masalah
yang di-'aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya.
- Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga-- berarti satu bagian. Dalam contoh ini tidak ada 'aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
- Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
- Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bila demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok masalah, yaitu delapan per enam (8/6). Oleh karena itu, asal pokok masalah enam dinaikkan menjadi delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah al-mubahalah.
- Seseorang
wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara kandung perempuan,
dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut:
pokok masalahnya enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga
bagian. Sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3)
berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu sepertiga
(1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian sesuai dengan pokok masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan masalah marwaniyah. - Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya enam. Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu, bagian dua orang saudara seayah dua per tiga (2/3) berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam
contoh tersebut jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu enam
banding sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang
semula enam menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal
dengan istilah syuraihiyah.
Contoh 'Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)
Seperti
telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-kan tiga
kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas
(17). Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:
- Seseorang
wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung
perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua
belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu
seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara
kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti delapan bagian.
Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada. - Seseorang
wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara kandung
perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan
seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dua belas (12).
Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6)
berarti dua bagian, saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2)
berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6)
--sebagai penyempurna dua pertiga-- berarti dua bagian, dan bagian saudara
perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian.
Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas (15). - Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)-nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
Dalam
contoh ini tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telah
melampaui pokok masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu
pokok masalahnya harus di-'aul-kan dari dua belas menjadi tujuh belas.
Contoh 'Aul Dua Puluh Empat (24)
Pokok
masalah dua puluh empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapat
di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini
hanya ada dalam kasus yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah
al-mimbariyah. Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika
memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar (podium).
Contoh
masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri,
ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki.
Maka pembagiannya seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah
mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6)
berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian,
anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu
perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) --sebagai
penyempurna dua per tiga (2/3)-- berarti empat bagian.
Dalam
contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang
menjadi hak ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita
harus meng-'aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang
harus diberikan kepada para ashhabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam
masalah al-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-'aul-kan
menjadi angka dua puluh tujuh.
0 Response to "Pengertian 'AUL dalam ilmu waris"
Posting Komentar