Definisi ar-Radd
Ar-radd
dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna
'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu
keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)
"Dan
Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh
kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)
Dalam
sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah,
palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).
Adapun
ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan
kebalikan dari al-'aul.
Sebagai
misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh
telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih
tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka
sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul
furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
Ar-radd
tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat
seperti di bawah ini:
- adanya ashhabul furudh
- tidak adanya 'ashabah
- ada sisa harta waris.
Bila
dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak
akan terjadi.
Ar-radd
dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri.
Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian
tambahan dari sisa harta waris yang ada.
Adapun
ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:
- anak perempuan
- cucu perempuan keturunan anak laki-laki
- saudara kandung perempuan
- saudara perempuan seayah
- ibu kandung
- nenek sahih (ibu dari bapak)
- saudara perempuan seibu
- saudara laki-laki seibu
Adapun
mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam
beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam
keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya
--ayah atau kakek-- -maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan
menerima waris sebagai 'ashabah.
Adapun
ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah
suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab,
akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan
tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu
mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya
mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila
dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta
waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
Ada
empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri.
Keempat macam itu:
- adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
- adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
- adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
- adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri
Apabila
dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari sahib fardh dengan bagian
yang sama --yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat
bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya)-- dan dalam keadaan itu tidak
terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah
ahli waris. Hal ini bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar
lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara yang paling mudah.
Sebagai
misal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok
masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai
fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd.
Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka
merupakan ahli waris dari bagian yang sama.
Contoh
lain, bila seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung
perempuan, maka pokok masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya pun secara
fardh dan ar-radd.
Misal
lain, seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan
seibu. Maka pokok masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya sama.
Apabila
dalam suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yang beragam --dan tidak ada
salah satu dari suami atau istri-- maka cara pembagiannya dihitung dan nilai
bagiannya, bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Sebagai misal, seseorang
wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka
pembagiannya, bagi ibu seperenam (1/6), untuk kedua saudara laki-laki seibu
sepertiga (1/3). Di sini tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka yang
dijadikan pokok masalah, yakni tiga.
Contoh-contoh keadaan kedua
- Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak lak-laki. Maka pokok masalahnya dari empat, karena jumlah bagiannya ada empat.
- Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan, serta saudara laki-laki seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
- Seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, serta seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
- Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan serta saudara perempuan seayah. Maka pokok masalahnya empat, karena jumlah bagiannya empat.
- Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya lima, karena jumlah bagiannya adalah lima.
Begitu
seterusnya, yang penting tidak ada salah satu dari suami atau istri.
Apabila
para ahli waris semuanya dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai salah
satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokok
masalahnya dari sahib fardh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah
sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
Sebagai
misal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka
suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat)
dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila
pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian
berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan
dibagi secara rata.
Misal
lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara
laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya
dari empat, karena angka itu diambil dari sahib fardh yang tidak dapat
di-radd-kan, yaitu istri, yang bagiannya dalam keadaan demikian seperempat
(1/4).
Contoh
lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak
perempuan. Pokok masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari sahib fardh
yang tidak dapat di-radd-kan (tidak berhak untuk ditambah). Maka istri
mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan
sisanya tujuh per delapan (7/8) merupakan bagian kelima anak perempuan dan
dibagi secara merata di antara mereka. Hitungan ini perlu pentashihan, dan
setelah ditashih pokok masalahnya menjadi empat puluh, hitungan (bagiannya)
sebagai berikut: ibu mendapatkan seperdelapan dari empat puluh, berarti lima
bagian, sedangkan sisanya --tiga puluh lima bagian-- dibagikan secara merata
kepada kelima anak perempuan pewaris, berarti masing-masing menerima tujuh
bagian.
Contoh
lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri dan empat anak perempuan.
Dalam hal ini pokok masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagai sahib
fardh yang tidak dapat di-radd-kan. Pembagiannya: istri mendapatkan seperempat
(1/4) bagian, sedangkan sisanya --tiga per empat (3/4)-- dibagi secara merata
untuk keempat anak perempuan pewaris.
Dalam
contoh ini juga harus ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh karena itu,
pokok masalah yang mulanya empat (4) naik menjadi enam belas (16). Sehingga
pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4) dari enam belas
berarti empat bagian. Sedangkan sisanya dua belas bagian dibagikan secara
merata kepada keempat anak perempuan pewaris. Dengan demikian, setiap anak
memperoleh tiga bagian.
Apabila
dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya, dan di
dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka menurut kaidah yang berlaku kita
harus menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak
menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami
atau istri. Kemudian kita buat diagramnya secara terpisah. Setelah itu barulah
kita lihat kedua ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga kriteria yang
ada, mana yang paling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang dimaksud ialah
tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).
Untuk
lebih memperjelas masalah yang rumit ini perlu saya sertakan contoh kasusnya:
Seseorang
wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:
Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima
(yakni dari jumlah bagian yang ada).
Bagian
nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian.
Bagian
kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.
Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:
Pokok
masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat
di-radd-kan, yaitu istri.
Bagian
istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian.
Sisanya,
yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan
melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian
nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga
tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.
Kemudian
bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris
tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan
masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah kita
jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.
Contoh
lain: seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu.
Pada
ilustrasi pertama --tanpa menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari
enam, dan dengan ar-radd menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian yang
ada.
Sedangkan
dalam ilustrasi kedua --menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari
delapan, karena merupakan fardh orang yang tidak dapat di-radd-kan, yakni
istri.
Apabila
istri mengambil bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya tujuh per
delapan (7/8), dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu,
secara fardh dan radd.
Seperti
kita ketahui bahwa antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudian
langkah berikutnya kita kalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokok
masalah pertama (lima). Maka hasil perkalian antara kedua pokok masalah itu
adalah pokok masalah bagi kedua ilustrasi tersebut.
Kini,
setelah kita kenali pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut, maka
bagian istri adatah seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada, berarti ia
mendapat lima (5) bagian.
Bagian
kedua anak perempuan dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri --yang
tersisa tiga puluh lima (35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut: bagian
kedua anak perempuan adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya dalam
ilustrasi pertama) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian pada ilustrasi
kedua) berarti dua puluh delapan (28) bagian.
Adapun
bagian ibu adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi pertama
(satu bagian) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi kedua)
berarti tujuh (7) bagian.
0 Response to "Pengertian Ar Radd dalam mawaris"
Posting Komentar