H Ahmad Thoha, MA
Salah satu di
antara karakteristik agama Islam adalah tawazun (keseimbangan). Kehidupan dalam
Islam sebagaimana disyariatkan Allah dan RasulNya, merupakan kehidupan yang
simbang dan selaras, dengan sisi-sisi kehidupan material. Ada sebuah riwayat,
pada suatu hari salah seorang sahabat Rasulullah SAW lewat di sebuah lembah
dengan mata air yang jernih dan segar. Lembah itu sangat mempesona, sehingga
sahabat itu berfikir untuk mengasingkan diri dari masyarakat dan menghabiskan
waktunya untuk beribadah di lembah tersebut. Ia menghadap dan memberitahukan
maksudnya itu kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Jangan
kamu lakukan itu, kedudukanmu di jalan Allah jauh lebih mulia dan lebih mulia
daripada shalat yang engkau lakukan di lembah tersebut selama 70 tahun.
Tidakkah kamu ingin agar Allah SWT mengampuni segala kesalahanmu dan
memasukanmu ke dalam surga? Maka berjuanglah di jalan Allah”. Artinya hiduplah
di tengah-tengah masyarakat dengan mempertahankan aqidah dan menyebarkannya
kepada yang lain. Itulah makna ummatan wasatha (umat yang seimbang) antara
hablum minallah dan hablum minan naas. Wasathon artinya juga pertengahan.
Posisi pertengahan dalam arti tidak memihak ke kanan dan ke kiri. Dan ini akan
mengantarkannya untuk berlaku adil. Posisi pertengah dalam pandangan Islam
tentang hidup adalah bahwa di samping ada dunia ada juga akhirat. Keberhasilan
di akhirat ditentukan oleh iman dan amal shaleh di dunia. Manusia tidak boleh
tenggelam dalam materialisme, tetapi juga tidak boleh terlalu larut dalam
spiritualisme yang sangat tinggi sehingga melupakan dunia. Pandangan mengarah
ke langit, namun kaki harus tetap berpijak di bumi. Islam mengajarkan umatnya
meraih materi duniawi, tetapi dengan nilai-nilai ukhrawi. (al Qashshash : 77).
Rasulullah SAW adalah contoh paling ideal bagi kehidupan yang berimbang. Islam tidak mengajarkan agar umatnya mengisolirkan diri dari kehidupan yang tujuannya untuk beribadah kepada Allah saja di tempat pertapaan, atau hanya berkutat di Biara seperti seorang pendeta. Bahkan Islam mengingkari orang-orang yang menciptakan kehidupan sendiri ala pendeta yang tidak berumah tangga atau menikah. Dalam sebuah riwayat, pernah ada tiga orang sahabat bertanya kepada kepada salah seorang isteri Rasulullah SAW, Aisyah RA. Sahabat itu bertanya : “Bagaimana ibadahnya Rasulullah SAW”? Aisyah menjawab : “Bahwa ibadahnya Rasulullah SAW begini, begitu dlsb. Setelah mendengan jawaban Aisyah, ketiga sahabat tersebut membandingkan dengan dirinya, bahwa ibadah diri mereka sungguh tidak ada apa-apanya dibanding dengan ibadahnya Rasulullah SAW. Sementaa Allah SWT telah mengampuni dosa-dosa Rasulullah yang terdahulu dan yang akan datang. Akhirnya salah seorang dari mereka ada yang mengatakan bahkan bersumpah, akan melakukan puasa terus menerus. Sedang orang kedua juga mengatakan akan shalat malah terus menerus. Sedang orang ketiga akan beribadah terus dan tidak akan kawin selamanya. Rasulullah SAW yang mendengar pernyataan ketiga sahabat tersebut, datang dan bersabda : “Sungguh aku adalah orang yang paling takut dan orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Tetapi aku berpuasa tetapi aku juga makan berbuka. Aku bangun malam untuk shalat, tetapi aku juga tidur. Dan akupun juga menikahi wanita. Maka barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka mereka tidak termasuk golonganku”.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW pernah menasehati Abdullah bin Amr. Tatkala beliau mengetahui bahwa sahabatnya tersebut terus-menerus berpuasa, shalat malam, dan membaca Al-Qur’an. Sehingga ia melalaikan hak dirinya, hak isteri dan anaknya, dan hak-hak orang lain yang mengunjunginya. Maka Rasulullah SAW memerintahkan kepada sahabat tersebut agar mengambil jalan tengah dalam masalah ini, seraya beliau bersabda : “Sesungguhnya dalam jasadmu mempunyai hak atas dirimu, yaitu untuk beristirahat. Demikian juga matamu mempunyai hak atas dirinya untuk tidur. Demikian pula isterimu juga mempunyai hak atas dirimu, untuk bercengkerama dlsb. Demikian pula terhadap tamu-tamumu, mereka mempunyai hak atas dirinmu”.
Rasulullah SAW adalah contoh paling ideal bagi kehidupan yang berimbang. Islam tidak mengajarkan agar umatnya mengisolirkan diri dari kehidupan yang tujuannya untuk beribadah kepada Allah saja di tempat pertapaan, atau hanya berkutat di Biara seperti seorang pendeta. Bahkan Islam mengingkari orang-orang yang menciptakan kehidupan sendiri ala pendeta yang tidak berumah tangga atau menikah. Dalam sebuah riwayat, pernah ada tiga orang sahabat bertanya kepada kepada salah seorang isteri Rasulullah SAW, Aisyah RA. Sahabat itu bertanya : “Bagaimana ibadahnya Rasulullah SAW”? Aisyah menjawab : “Bahwa ibadahnya Rasulullah SAW begini, begitu dlsb. Setelah mendengan jawaban Aisyah, ketiga sahabat tersebut membandingkan dengan dirinya, bahwa ibadah diri mereka sungguh tidak ada apa-apanya dibanding dengan ibadahnya Rasulullah SAW. Sementaa Allah SWT telah mengampuni dosa-dosa Rasulullah yang terdahulu dan yang akan datang. Akhirnya salah seorang dari mereka ada yang mengatakan bahkan bersumpah, akan melakukan puasa terus menerus. Sedang orang kedua juga mengatakan akan shalat malah terus menerus. Sedang orang ketiga akan beribadah terus dan tidak akan kawin selamanya. Rasulullah SAW yang mendengar pernyataan ketiga sahabat tersebut, datang dan bersabda : “Sungguh aku adalah orang yang paling takut dan orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Tetapi aku berpuasa tetapi aku juga makan berbuka. Aku bangun malam untuk shalat, tetapi aku juga tidur. Dan akupun juga menikahi wanita. Maka barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka mereka tidak termasuk golonganku”.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW pernah menasehati Abdullah bin Amr. Tatkala beliau mengetahui bahwa sahabatnya tersebut terus-menerus berpuasa, shalat malam, dan membaca Al-Qur’an. Sehingga ia melalaikan hak dirinya, hak isteri dan anaknya, dan hak-hak orang lain yang mengunjunginya. Maka Rasulullah SAW memerintahkan kepada sahabat tersebut agar mengambil jalan tengah dalam masalah ini, seraya beliau bersabda : “Sesungguhnya dalam jasadmu mempunyai hak atas dirimu, yaitu untuk beristirahat. Demikian juga matamu mempunyai hak atas dirinya untuk tidur. Demikian pula isterimu juga mempunyai hak atas dirimu, untuk bercengkerama dlsb. Demikian pula terhadap tamu-tamumu, mereka mempunyai hak atas dirinmu”.
0 Response to "Keseimbangan Investasi Dunia Akhirat"
Posting Komentar